Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berada di tahap akhir pembahasan dan dijadwalkan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Namun, rencana pengesahan tersebut memantik perdebatan publik karena sejumlah pasal dinilai berpotensi menimbulkan masalah dalam praktik penegakan hukum.
Sejumlah lembaga advokasi menilai perubahan dalam RUU KUHAP memuat pasal-pasal yang dianggap bersifat karet dan berisiko membuka ruang penyalahgunaan kewenangan oleh aparat.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menjadi salah satu pihak yang paling vokal menyoroti rancangan undang-undang ini, terutama terkait mekanisme penangkapan dan penahanan.
ICJR menyebut penyalahgunaan wewenang sering terjadi pada praktik lapangan sehingga diperlukan batasan yang jelas dan akuntabel.
Selain itu, ICJR juga menyoroti aturan penyadapan dan penggeledahan yang dinilai belum memiliki syarat serta ketentuan pembatasan secara tegas dalam RUU KUHAP.
Kekhawatiran meningkat karena tanpa kontrol hukum yang kuat, kewenangan tersebut dapat digunakan secara sewenang-wenang.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi KUHAP juga menyebut ada sembilan kelompok pasal bermasalah yang berpotensi mengurangi akuntabilitas proses peradilan. Beberapa kritik di antaranya mencakup:
Minim akuntabilitas pelaporan — Pasal 23
Minim pengawasan yudisial — Pasal 149, 152 ayat (2), 153, dan 154
Upaya paksa tanpa ukuran jelas — Pasal 85 ayat (1), 88, 89, 90 ayat (2) dan (3), 93 ayat (5), 105 huruf e, 106 ayat (4), 112 ayat (2)
Sidang elektronik tanpa mekanisme akuntabel — Pasal 138 ayat (2) huruf d, 191 ayat (2), dan 223 ayat (2) dan (3)
Investigasi khusus tanpa kontrol — Pasal 16
Hak korban dan kelompok rentan belum operasional — Pasal 134–139, 168, 169, 175 ayat (7)
Standar pembuktian tidak jelas — Pasal 85–88, 222, 224–225
Ketidakberimbangan dalam proses peradilan pidana — Pasal 33, 197 ayat (10), 142 ayat (3) huruf b, 146 ayat (4) dan (5), Pasal 1 angka 20 dan 21
Konsep restorative justice disamakan dengan diversi — Pasal 74–83
Sebagai acuan, KUHAP selama ini menjadi pedoman utama prosedur aparat penegak hukum dalam menjalankan kewenangan pidana di Indonesia.
Oleh karena itu, perubahan terhadap KUHAP dinilai harus dilaksanakan secara hati-hati dengan memperhatikan integritas sistem peradilan serta perlindungan hak warga negara