Bentrokan ini merupakan buntut panjang sengketa tanah yang dihuni sekitar 2.000 kepala keluarga di empat RW. Warga menempati lahan tersebut sejak 1985 sebagai tanah garapan dan membangun rumah permanen maupun semi permanen.
Situasi berubah pada 2010–2013 ketika pasangan suami istri berinisial JJS dan JK muncul dengan membawa 83 sertifikat hak milik atas tanah seluas 70.000 meter persegi. Mereka meminta warga mengosongkan lahan serta menawarkan uang kerohiman. Upaya pengosongan kembali terjadi tahun 2018 dan 2025.
Warga yang menolak pengosongan kemudian mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Bandung melalui kuasa hukum Fredy Panggabean.
“Negara ini negara hukum. Jika mereka mengklaim punya sertifikat, biarkan dibuktikan di pengadilan. Jangan ada paksaan,” tegas Fredy.
Sejumlah warga seperti Ibu Pipih, yang sudah tinggal sejak 1996, merasa kebijakan pengosongan mendadak sangat memberatkan. Beberapa akses jalan ke permukiman warga sempat ditutup oleh pihak yang mengaku pemilik lahan, membuat warga semakin resah.
Rabu pagi, 3 Desember 2025, situasi di Sukahaji, Kota Bandung, kembali memanas. Sekelompok orang yang diduga ormas mencoba menerobos dan membubarkan paksa warga yang masih bertahan. Gesekan pun tak terhindarkan, mengakibatkan sejumlah orang mengalami luka-luka.#Sukahaji pic.twitter.com/5Bf3cI6TZe
— BandungBergerak (@BdgBergerakID) December 3, 2025
Hingga pukul 13.15 WIB, situasi di Sukahaji sudah berangsur kondusif. Namun ketegangan masih terasa karena kedua kelompok tetap bertahan di sekitar lokasi. Polisi masih melakukan penjagaan untuk memastikan tidak ada lagi provokasi maupun aksi anarkis.
Warga seperti Nurvita (50) mengaku bahwa ketegangan pada siang hari sangat terasa.
“Ada suara mirip petasan dan lempar-lemparan. Warga panik,” ujarnya.
Meski kondisi berangsur membaik, aparat menegaskan pengamanan tetap dilanjutkan hingga situasi benar-benar stabil.