Sewaktu kecil, Isagi pemalu dan mudah takut. Ayahnya membawanya ke stadion sepak bola profesional untuk pertama kalinya.
Dikelilingi ribuan penggemar yang bersemangat dan sorak-sorai yang memekakkan telinga, Isagi muda benar-benar terpikat.
Ia menyaksikan dua puluh dua pemain berebut satu bola.
Sesuatu terbangun dalam dirinya saat itu. Ia berpikir: “Aku juga ingin mencobanya. Aku ingin berdiri di tempat itu.”
Sensasi itu menandai lahirnya hasratnya.
Itu adalah kebangkitan pertama egonya. Seiring Isagi beranjak dewasa, api semangat awalnya mulai meredup.
Bermain di tim konvensional dan mengikuti instruksi ketat merampas kegembiraan yang awalnya menariknya ke sepak bola.
Semuanya menjadi tentang mengikuti perintah, protokol kerja sama tim, dan memenuhi harapan.
Kegembiraan yang pernah menguasainya mulai menghilang.