Temuan terbaru dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Auriga Nusantara kembali menyoroti jejak panjang pemberian konsesi lahan kepada korporasi di Indonesia.
Dalam jurnal bertajuk Indonesia Tanah Air Siapa: Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi yang dirilis September 2022, tersorot satu fakta mencolok: Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), memegang rekor pemberian konsesi lahan terbesar dalam periode kekuasaan yang jauh lebih singkat dibandingkan pendahulunya.
Jika Presiden Soeharto memberikan sekitar 79 juta hektare lahan selama 32 tahun berkuasa, SBY justru tercatat menyerahkan 55 juta hektare konsesi hanya dalam kurun waktu 10 tahun.
Angka tersebut menjadikan era SBY sebagai periode dengan pemberian konsesi paling massif dalam konteks durasi kekuasaan.
Walhi mencatat bahwa gelombang pemberian lahan kepada korporasi sebenarnya telah berlangsung sejak Orde Baru melalui berbagai regulasi, seperti UU Penanaman Modal Asing (1967), UU Penanaman Modal Dalam Negeri (1968), hingga izin konsesi untuk tambang, logging, HPH, HTI, dan perkebunan sawit.
Dalam perkembangannya, Omnibus Law atau UU Cipta Kerja menyederhanakan seluruh izin tersebut dalam skema Perizinan Berusaha.
Meski demikian, SBY bukan satu-satunya presiden yang disorot.
Di era Megawati, pemerintah menerbitkan Perppu 1/2004 serta Keppres 41/2004 yang memberi izin kepada 13 perusahaan untuk melakukan penambangan terbuka (open pit) di kawasan hutan lindung seluas 927.648 hektare.
Di sisi lain, pemerintahan Joko Widodo yang mencanangkan program perhutanan sosial 12,7 juta hektare dan reforma agraria 5 juta hektare, baru memenuhi sekitar 11 persen target tersebut.
Justru, data Walhi menunjukkan sekitar 8 juta hektare lahan telah diberikan kepada korporasi sepanjang rezim berjalan.
Dampak dari masifnya alih fungsi lahan kini terasa nyata. Rentetan bencana ekologis di Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara pada November 2025 menjadi salah satu bukti.

Banjir bandang dan longsor yang menewaskan 753 orang bukan hanya disebabkan cuaca ekstrem, melainkan kerusakan ekologis kronis.
WALHI Sumut menyebut banyak wilayah masuk kategori risiko tinggi, dengan hutan gundul dan izin perusahaan di kawasan sensitif seperti ekosistem Batang Toru semakin memperburuk keadaan.
Menurut Manajer Advokasi WALHI Sumut, Jaka Kelana Damanik, sebagian besar bencana tidak murni akibat curah hujan, melainkan akibat keputusan politik yang memprioritaskan investasi dibanding keberlanjutan lingkungan.
Ia menilai kegagalan pengelolaan lingkungan selama bertahun-tahun telah menciptakan krisis ekologis yang kini mengancam jutaan warga.
Sumber: WALHI