Spoiler Jujutsu Kaisen Modulo chapter 5 akhirnya hadir, dan episode minggu ini meningkatkan taruhannya lebih tinggi dari sebelumnya.
Dengan terjemahan yang masih kasar dan banyak blok teks yang hilang, penggemar sebaiknya tidak terlalu mempercayai spoiler awal ini. Namun, apa yang bisa kita rangkum memberikan gambaran yang jelas tentang bab yang penuh dengan pertarungan brutal, filosofi yang menegangkan, dan cliffhanger yang membuat pembaca sangat menantikan rilis resminya.
Cerita kemudian berlanjut tepat di mana chapter 4 berakhir.
Anak yang tampak polos itu ternyata tak lain adalah pengguna kutukan tua, penyamarannya terkelupas seperti topeng.
Wujud aslinya membangkitkan perbandingan dengan Red Skull, dengan wajahnya yang seperti kerangka dan mengancam menjadi representasi yang tepat dari kebusukan dan korupsi.
Pria tua itu memanggil Shikigami yang mengganggu di Jujutsu Kaisen Modulo chapter 5 dengan benang dan jarum, sebuah teknik yang dalam terjemahan kasar disebut sebagai “Intimidasi Roh Ibu.”
Citranya mengerikan, dengan bayangan yang menjulang, jarum yang menusuk, dan rasa kendali yang memuakkan.
Tsurugi mengimbangi agresi lelaki tua itu dengan ilmu pedang yang membuktikan mengapa ia diakui sebagai penyihir Kelas 1. Namun lawannya bukanlah orang bodoh; ia menggunakan benang untuk menjerat pergelangan kaki Tsurugi, hampir mendaratkan pukulan telak.
Di sinilah kita diingatkan akan kreativitas berbahaya para pengguna kutukan veteran; pengalaman puluhan tahun membuat mereka tak terduga.
Di sela-sela pertukaran serangan, pertarungan beralih ke ranah filosofis. Tsurugi mempertanyakan pilihan lelaki tua itu, bertanya apakah ia pernah berpikir untuk menggunakan kekuatannya demi orang lain.
Responsnya sama pahitnya sekaligus dinginnya: sentimentalitas selalu membusuk menjadi kebencian.
Ia mengakui siklus kekerasan, tetapi menunjukkan bahwa manusia selalu mencoba lagi, sebuah perjuangan tanpa akhir untuk menemukan makna, bahkan di dunia yang terkutuk.
Bab ini menegaskan bahwa Modulo bukan sekadar tentang rangkaian aksi; melainkan juga sebuah meditasi tentang ketahanan manusia versus kemerosotan yang tak terelakkan.